JEMBER - Merasa dirugikan karena keputusan sepihak panitia karnaval desa, sejumlah warga di Desa Kemuningsari Lor, Kecamatan Panti, Jember, nekat menggruduk kantor kepala desanya, Selasa (12/8) siang. Mereka menyampaikan kekecewaannya, karena ulah ketua panitia karnaval yang sepihak melarang sound horeg, masuk ke lapangan desa untuk battle. Tak tanggung, warga menuntut ganti rugi atau pemecatan ketua panitia sebagai perangkat desa.
Ketua panitia yang juga perangkat desa, mulanya mengaku siap mundur asal diperintah kepala desanya. Bahkan, Slamet berulang kali menyatakan sanggup jika harus dikorbankan. Sementara warga, mengetahui bahwa larangan masuk ke lapangan desa untuk menggelar battle sound, berasal dari Slamet yang merupakan “kabinet” di pemerintahan Kades Abdul Wakik.
Kepada wartawan, sejumlah warga desa itu mengaku gregetan, sudah ikut berpartisipasi menyukseskan di event karnaval desanya, malah dibuat kecewa atas keputusan sepihak ketua panitia karnaval Desa Kemuningsari Lor. Ketua panitia merupakan perangkat desa setempat, yang diketahui bernama Slamet. “Tiba-tiba sound yang kami sewa mahal, tidak boleh masuk di lapangan dan disuruh bubar sampai kantor desa,” kata Roby, salah seorang koordinator sound horeg saat ditemui, Selasa (12/8).
Pemuda itu menyampaikan, bahwa tahun sebelumnya peserta karnaval masih diperbolehkan masuk ke lapangan dan berkesempatan menggelar battle sound. Sebuah atraksi adu suara sound horeg, yang digemari warga sebagai hiburan rakyat. “Padahal akhirnya percuma, kami sewa sound mahal tapi tidak boleh battle,” imbuhnya.
Padahal kata Robby, uang untuk menyewa sound dengan daya suara tinggi itu, hasil swadaya warga dan donatur. Sementara pihak desa, tidak ikut membiayai kebutuhan peserta karnaval. “Padahala di lapangan sudah banyak orang. Kasihan lagi orang jualan tidak laku. Padahal yang jualan warga sekitar,” keluhnya.
Kedatangannya ke kantor desa tersebut, menuntut ketua panitia bernama Slamet, untuk membayar ganti rugi 50 persen dari biaya yang dikeluarkan warga. “Kalau tidak dibayar, kami menuntut Slamet mundur atau dipecat dari perangkat desa. Semisal tetap tuntutan warga ini tidak diindahkan, sepakat kami boikot bayar pajak,” ancam Roby dan sejumlah warga lainnya, saat dengar pendapat di hadapan kades, muspika dan perwakilan Pemkab Jember serta Ketua Komisi A DPRD Jember.
Slamet di hadapan sejumlah warga, mulanya menegaskan bahwa dirinya tidak bersedia mengganti kerugian warga peserta karnaval. Dia pun enggan mengundurkan diri jadi perangkat desa. “Saya tidak mau membayar ganti rugi itu dan saya pun enggan mundur,” tegasnya.
Karena mendapat penolakan yang demikian dari Slamet, sejumlah warga tambah geram. Kades pun mencoba merayu warga, dengan menawar 20 persen untuk ganti rugi. Namun warga tetap tidak bersedia. Sampai akhirnya ada media terbatas dan melalui Kapolsek Panti, AKP Idham, ,mengumumkan permintaan warga menuntut desa membayar ganti rugi 50 persen dari biaya karnaval, dikabulkan oleh pihak desa kan kades menjaminnya.
Ketua Komisi A DPRD Jember, yang juga merupakan warga desa setempat, Budi Wicaksono, menerangkan bahwa 50 persen yang dimaksud tuntutan warga, sama dengan Rp 26.700.000. Namun kata Budi, angka itu dihitung hanya untuk 4 sound besar. Sementara sound sekala kecil, tidak diganti oleh pihak desa. Padahal, dalam karnaval tersebut ada 19 regu peserta dan setiap regu masing-masing membawa sound.
Budi Pink - sapaan akrab Budi Wicaksono, menyampaikan bahwa dirinya kesulitan membagi uang sejumlah itu. Namun warga lebih percaya pada Budi Pink, dipegang Budi agar bisa dibuat menyewa sound horeg batlle di lapangan desanya. “Asal masyarakat bisa kondusif, saya sumbang Rp 10 juta agar total uang jadi Rp 36 juta 700 ribu,” pungkas Budi Pink, yang disambut tepuk tangan warga yang ada di Kantor Desa Kemuningsari Lor. (*)