JAKARTA – Chief Economist Indonesia dan India HSBC Global Research, Pranjul Bhandari, menilai turunnya arus penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) belakangan ini lebih dipengaruhi oleh ketidakpastian global yang dirasakan banyak negara, bukan hanya Indonesia.
Menurutnya, dalam beberapa bulan terakhir, pelemahan FDI terjadi di berbagai negara, terutama di pasar negara berkembang.
Situasi perdagangan internasional yang penuh ketidakpastian dan tarif tinggi membuat banyak perusahaan menunda ekspansi lintas negara.
“Ini lebih merupakan dampak dari kondisi global yang tidak menentu, bukan persoalan spesifik Indonesia,” kata Pranjul dalam paparan media secara daring di Jakarta, Jumat (8/8/2025).
Ia optimistis arus FDI dapat kembali pulih setelah ketidakpastian tarif mereda dan aturan baru diberlakukan, meski dampaknya akan berbeda di tiap negara.
“Jika regulasi tarif sudah jelas, perusahaan global bisa kembali berinvestasi, termasuk di Indonesia,” ujarnya.
Pranjul melihat peluang Indonesia untuk menarik investasi di sektor manufaktur menengah (mid-tech) padat karya, seperti tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur.
Menurutnya, ASEAN pernah menikmati lonjakan investasi di sektor ini saat periode pertama pemerintahan Donald Trump, dan peluang serupa bisa terjadi lagi.
“Indonesia sudah memproduksi barang-barang tersebut, tapi skalanya masih kecil. Sebagai contoh, ekspor pakaian Indonesia baru sekitar 25 persen dari capaian Vietnam,” jelasnya.
Senada dengan itu, Head of Equity Strategy Asia Pacific HSBC Global Research, Herald van der Linde, menambahkan bahwa ketidakpastian tarif global membuat banyak perusahaan menunda pembangunan pabrik, termasuk di Indonesia.
Namun, ia menilai pergeseran rantai pasok global justru memberi peluang bagi negara-negara ASEAN.
“Indonesia harus bergerak cepat menarik FDI di sektor manufaktur menengah yang padat karya sekaligus membutuhkan tenaga kerja terampil. Kalau tidak, bisa tertinggal dari Vietnam dan Malaysia yang sudah lebih dulu berhasil,” kata Herald.
Berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, realisasi investasi pada triwulan II 2025 mencapai Rp477,7 triliun, dengan porsi FDI sebesar 42,3 persen atau Rp202,2 triliun.
Angka ini menurun dibandingkan triwulan I 2025 yang mencapai Rp230,4 triliun, maupun triwulan II 2024 sebesar Rp217,3 triliun.
Adapun subsektor penyumbang FDI terbesar pada triwulan II 2025 antara lain industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya senilai 3,6 miliar dolar AS (28,8 persen), disusul pertambangan 1,3 miliar dolar AS (10 persen), jasa lainnya 1,1 miliar dolar AS (8,8 persen), industri kimia dan farmasi 0,7 miliar dolar AS (5,1 persen), serta perumahan, kawasan industri, dan perkantoran 0,6 miliar dolar AS (4,9 persen). []